15.12.08

akulah terang dunia

Waktu kecil, aku sering mendengar pendeta yang berkotbah bahwa Yesus adalah terang dunia. Sehingga jangan pernah berpikir kalau setiap perbuatan kita itu tersembunyi dariNya. TerangNya akan mengekspos setiap hal buruk yang telah kita lakukan. Hal itu membuatku takut untuk mendekati Tuhan. Takut kalau terangNya yang berkuasa akan menunjukkan dosa dan kelemahanku sehingga mempermalukanku.

Apakah ini gunanya terang dunia? Ternyata tidak. Kebenaran yang sesungguhnya terletak pada keseluruhan konteks ayat itu. Yesus menyatakan diriNya adalah terang dunia, setelah Ia berkata kepada wanita yang tertangkap sedang berbuat zinah, “Hai perempuan, dimanakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya, ”Tidak ada, Tuhan.” Lalu jawab Yesus, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Baru kemudian Yesus berkata, “Akulah terang dunia..” (Yohanes 8:10–12)

Bersyukur sekali karena mengetahui ketika Yesus mengatakan Akulah terang dunia, itu bukan untuk menunjukkan dosa wanita itu karena Ia baru saja mengatakan Akupun tidak menghukum engkau.

Hal ini seharusnya membuat kita tidak perlu datang ke hadiratNya dengan perasaan takut dan cemas. Tuhan tidak menunggu di tahtaNya untuk menghukum setiap kesalahan dan kegagalan kita. Sehingga setiap minggu kita perlu mampir menghadapNya, menyenangkanNya dengan sedikit persembahan dan pujian, supaya kita tidak dihukum. Kalau itu konsep kita selama ini, buang itu jauh-jauh!

TerangNya bukan untuk mengekspos dosa dan mempermalukan kita, bahkan menuduh kita. Tidak, TerangNya yang kudus adalah untuk menunjukkan betapa sempurnanya pekerjaan darahNya menghapus setiap dosa kita. Itu sebabnya Yesus berkata kepada wanita itu bahwa Ia juga tidak menghukumnya, itu karena Yesus yang akan menanggung hukuman karena dosa wanita itu, sama seperti dosa-dosa kita di atas kayu salib.

Devoters, terangNya mengungkapkan kebenaran bahwa dosa kita sudah dihapuskan semua. Ia menyatakan betapa sempurnanya pekerjaan Yesus diatas salib. Dengan mengetahui kebenaran ini, kamu bisa masuk dengan keyakinan ke hadiratNya, mengetahui bahwa terangNya memberi kasih karunia dan pengharapan

13.12.08

namaku samuel

Namaku Samuel. Aku lahir karena karena mujizat. Sebuah nazar dari mamaku yang bernama Hanna, membuat Tuhan mengijinkan aku lahir ke dunia. Sejak kecil aku sudah tinggal bersama Om Eli. Dia seorang imam di Silo. Om Eli punya dua anak, Hofni dan Pinehas. Aku tidak terlalu suka dengan mereka karena hidupnya munafik, tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.

Waktu kecil, aku pernah mendengar suara Tuhan memanggil namaku. Aku pikir itu adalah suara Om Eli. Tetapi waktu aku tanya, dia bilang tidak memanggilku. Aku jadi bingung. Setelah itu aku diberitahu kalau itu adalah suara Tuhan dan aku harus menjawabnya, lalu aku melakukan seperti yang diajarkan Om Eli. Sejak saat itu aku selalu berkomunikasi dengan Tuhan.


Banyak hal yang terjadi selama aku dikenal sebagai nabi di Israel, tapi aku mau bercerita tentang sebuah kesalahanku. Ini terjadi setelah raja Saul ditolak sebagai raja. Tuhan menyuruhku untuk pergi ke Betlehem dan mengurapi anak Isai untuk menjadi raja. Aku sih menurut saja. Tetapi ketika sampai disana aku bertemu dengan Isai. Lalu aku menyuruhnya mengumpulkan anak-anaknya. Aku benar-benar merasa kalau Tuhan sudah menunjukkan orang yang tepat.


Anaknya yang pertama, Eliab, seorang pria yang gagah perkasa. Ototnya benar-benar bukti kalau dia adalah seorang yang terlatih. Tampangnya yang ganteng sangat cocok bila mengenakan mahkota raja. Aku pikir Tuhan benar-benar sudah memilih seorang yang sangat tepat untuk menggantikan Saul. Tapi Tuhan bilang bukan dia. Aku jadi bingung.


Lalu ketika anaknya yang kedua, Abinadab maju. Aku lalu berpikir, mungkin dia lebih baik daripada kakaknya. Tetapi aku salah lagi. Lalu majulah yang ketiga, keempat, kelima, keenam sampai ketujuh, ternyata tidak ada satupun yang dipilih oleh Tuhan. Aku jadi semakin bingung. Lebih bingung lagi ketika akhirnya muncul Daud, anak yang paling kecil dengan wajah kekanak-kanakan dan tubuh yang mungil. Aku pikir mana mungkin dia menjadi raja. Kriterianya jauh dari persyaratan. Tapi herannya dialah yang dipilih Tuhan.


Hari itu aku belajar sesuatu. Bukan apa yang dilihat manusia yang dilihat Allah, Allah lebih melihat hati daripada apa yang ada di depan mata. Aku masih mengingat peristiwa itu sampai sekarang dan tidak akan melupakannya.

12.12.08

an angel

Seorang anak muda pergi ke sebuah tempat Pemahaman Alkitab (PA) yang diadakan pada setiap hari Rabu. Di sana sang Pendeta membawakan tema mengenai mendengarkan Tuhan dan setia dalam mentaati perintah-Nya. Si anak muda, sambil menyimak kemudian bertanya-tanya di dalam hatinya "Apakah Tuhan masih berbicara kepada kita?". Setelah kelas PA selesai, dia pergi bersama dengan beberapa temannya ke sebuah kedai kopi untuk mendiskusikan kata-kata Pendeta tadi sambil makan kue dan secangkir kopi sebelum pulang ke rumah masing-masing. Setelah hampir jam 10 malam, mereka keluar dari kedai tersebut untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sang anak muda pun mengendarai mobilnya pulang. Di dalam mobil dia berdoa "Tuhan, kalau Engkau masih suka berbicara kepada kami, berbicaralah kepadaku, aku akan mendengar, aku akan melakukan apapun yang aku bisa untuk mentaatinya". Selama perjalanan pulang, dia mendadak mempunyai ide yang aneh untuk membeli satu galon susu. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata "Tuhan, Engkaukah itu?".

Tetapi dia tidak mendengar jawaban apapun dan dia tetap berjalan pulang. Akan tetapi keinginan untuk membeli satu galon susu tersebut terus ada di kepalanya. Kemudian si anak muda ini berpikir mengenai Samuel yang tidak mengenali suara Tuhan dan bagaimana Samuel berlari ketakutan menghampiri Eli.

"Baik Tuhan, kalau ini Engkau, aku akan membeli susu tersebut", pikirnya ini bukan merupakan hal yang sulit untuk suatu tes ketaatan dan susu ini masih bisa dipakai untuk hal lain. Dia kemudian berhenti, membeli satu galon susu dan kembali menyetir menuju rumah. Pada saat melewati sebuah perempatan yang menuju ke Seventh Street, dia merasa bahwa dia harus berbelok ke jalan tersebut. "Tidak mungkin" pikirnya dan dia terus menyetir melewati perempatan tersebut. Akan tetapi, kembali pikiran itu ada di kepalanya dan dia merasa bahwa dia harus berputar arah untuk kembali ke Seventh Street. Akhirnya pada perempatan berikutnya, dia memutar mobilnya dan menuju Seventh Street.

Setengah bercanda dia berteriak "Baik Tuhan, aku taat". Dia berjalan beberapa saat sebelum dia merasa bahwa dia harus berhenti. Dia berhenti dan memperhatikan sekelilingnya. Dia berada di suatu daerah pertokoan yang agak lumayan, tidak kumuh tapi juga bukan daerah yang mahal. Sudah tidak ada kegiatan sama sekali dan semua rumah di sana sudah gelap yang sepertinya semua orang sudah berada di tempat tidur. Kembali dia merasakan sesuatu di dalam hatinya "Pergi dan berikan susu ini ke rumah yang ada di seberang jalan".

Si anak muda melihat ke rumah tersebut. Rumah tersebut sudah gelap dan tampaknya si pemilik rumah sedang pergi atau sudah tidur. Dia kembali duduk di mobilnya dan berkata "Tuhan, ini kelewatan, orang di dalam rumah tersebut sedang tidur dan kalau aku membangunkan mereka, mereka pasti marah dan aku akan terlihat seperti orang bodoh".

Akan tetapi kembali dia merasa bahwa dia harus memberikan susu ini. Akhirnya dia membuka pintu mobilnya "Baik Tuhan, apabila ini Engkau, aku akan pergi ke rumah itu dan memberikan susu ini kepada mereka. Apabila Engkau memang ingin melihat aku seperti orang bodoh, tidak apa-apa, aku ingin menjadi orang yang taat. Pasti hal ini akan ada manfaatnya, akan tetapi jika aku mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, aku akan pergi dari sini".

Dia membuka pintu mobilnya dan menekan bel di depan pintu. Dia mendengar ada ribut-ribut di dalam rumah dan ada teriakan laki-laki "Siapa di situ? Apa maumu?". Kemudian pintu terbuka sebelum si anak muda tersebut dapat pergi menghindar. Lelaki tersebut berdiri dengan celana jeans dan kaos oblong, sepertinya dia baru bangun dari tempat tidur. Dia tampak tidak senang melihat orang asing di depan pintu rumahnya. Si anak muda memberikan susu tersebut, "Ini saya membawa susu".

Laki-laki tersebut segera mengambil susu tersebut dan sambil membawa susu tersebut ke dalam rumah dia berteriak dalam bahasa Spanyol. Kemudian seorang wanita menghampiri dan membawa susu tersebut ke dapur. Laki-laki tersebut mengikutinya sambil menggendong seorang bayi. Bayi tersebut sedang menangis. Air mata mengalir di muka lelaki tersebut. Lelaki tersebut berkata sambil setengah menangis "Kami baru saja berdoa. Kami banyak tagihan dan kami sudah tidak punya uang lagi bahkan tidak ada uang untuk membeli susu untuk bayi kami. Kami meminta Tuhan untuk menunjukkan bagaimana caranya kami dapat mendapatkan susu untuk bayi kami".

Istrinya kemudian berteriak "Kami meminta Tuhan untuk mengirimkan malaikat dengan membawa ........, hei apakah kamu seorang malaikat?"

Anak muda tersebut kemudian mengambil dompetnya dan memberikan semua uangnya ke tangan lelaki tersebut. Dia berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Dia yakin sekarang kalau Tuhan masih menjawab doa.

Jangan mempertanyakan kesetiaan Tuhan, pertanyakanlah kesetiaan diri kita sendiri dalam mengikut Tuhan. Sudahkah kita setia mulai dari hal-hal kecil?

11.12.08

love letter

Ibu tercinta,

Kami masih berada di Betlehem – aku, Maria dan si kecil Yesus. Ada banyak hal yang tidak bisa kukatakan kepada ibu tentang musim panas lalu. Ibu mungkin tidak akan percaya padaku, tetapi mungkin aku bisa mengatakannya sekarang. Aku harap Ibu bisa mengerti.

Ibu, aku sangat mencintai Maria. Ibu dan Ayah dulu sering menggodaku dengannya ketika ia masih kecil. Ia dan kakaknya dulu sering bermain di jalan depan rumah kita. keluarga kita sering makan bersama. Tetapi hari terberat dalam hidupku datang hampir setahun yang lalu ketika aku berumur 20 tahun dan ia hanya 15 tahun. Ibu ingat kan?

Permasalahan dimulai ketika kami mulai bertunangan dan menandatangani persetujuan pernikahan di hari pertunangan kami. Pada saat yang sama tiba-tiba Maria pergi mengunjungi sepupunya Elizabeth di Yudea. Ia pergi selama 3 bulan. Setelah ia kembali, orang-orang mulai membicarakan tentangnya, bahwa ia hamil.

Hari itu hari yang menengangkan bagiku ketika pada akhirnya aku menemuinya dan bertanya mengenai gosip itu. “Maria,” tanyaku padanya, “Apakah benar bahwa kau sedang hamil?” Sepasang mata jernih berwarna coklat itu menatapku. Aku tak tahu harus berkata apa. “Siapa?” Tanyaku dengan kegugupan. Ibu, Maria dan aku tidak pernah berbuat hal-hal yang tidak baik – bahkan setelah kami bertunangan.

Maria menunduk. “Yusuf, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Kamu tidak akan bisa mengerti. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah menyayangi siapapun kecuali kamu.” Ia bangun, dengan lembut ia memegang kedua tanganku, dan menciumnya seakan-akan saat itu adalah saat terakhir ia melakukannya dan kemudian ia pulang ke rumah. Ia pasti sangat terpukul. Begitupun dengan aku.

Awalnya aku begitu marah dan menumpahkan frustasiku pada pintu kayu yang sedang kubuat. Pikiranku berputar dengan cepat, aku hampir tidak berpikir sedikitpun pada pekerjaanku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahi kontrak pernikahan dengan perceraian diam-diam. Aku terlalu mencintainya untuk memberitahukan pada publik.

Aku tidak bisa berbicara dengan ibu, atau siapapun, untuk masalah ini. perkataannya terus terngiang-ngiang di pikiranku. “Aku tidak pernah menyayangi siapapun kecuali engkau... “Aku ingin sekali mempercayainya!” dan ketika aku tertidur, aku bermimpi Malaikat Tuhan datang padaku. PerkataanNya masuk ke dalam pikiranku dan aku bisa mengingatnya dengan jelas sekali.

“Yusuf, anak Daud,” suaraNya yang menggelegar, “Jangan takut menjadikan Maria sebagai istrimu, karena apa yang terjadi padanya berasal dari Roh Kudus.” Aku tidak bisa mempercayai telingaku, Ibu. Inilah jawaban! Malaikat itu meneruskan, “Ia akan melahirkan seorang bayi laki-laki, dan kamu akan menamai Ia Yesus, karena Ia yang akan menyelamatkan manusia dari dosa.” Malaikat itu menggenggam bahuku dengan tangannya yang besar. Untuk waktu yang lama ia menatapku dengan dalam. Ketika ia pergi, aku melihatnnya tersenyum.

Aku duduk terdiam. Memikirkan berbagai kata dalam benakku, kemudian aku bangun segera berpakaian diam-diam supaya aku tidak membangunkan Ibu. Aku pasti telah melewati bermil-mil di bawah bulan di langit gelap dan taburan bintang-bintang, semburan angin mengusap wajahku.

Aku bernyanyi bagi Tuhan, Ibu, andaikan ibu bisa membayangkan. Aku tidak dapat menahan kebahagiaanku. Aku katakan padaNya aku akan menikahi Maria dan mengasihinya, aku akan menjaganya dan bayinya, tidak peduli apa yang dikatakan orang.

Ketika aku pulang, hari telah pagi. Aku tidak tahu apakah Ibu masih mengingat pagi itu. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Ibu.” Aku mengajak Ibu duduk di atas batu besar. “Ibu,” kataku, “Aku akan membawa Maria pulang sebagai istriku. Bisakah Ibu membantu menyiapkan tempat untuknya?”

Ibu terdiam beberapa saat. “Kamu tahu benar apa yang mereka bicarakan anakku?” “Ya, ibu, Aku tahu.” Suaramu mulai meninggi. “Kalau ayahmu masih hidup, ia pasti akan menentangnya. Melakukan hal seperti itu sebelum kalian menikah, mempermalukan keluarga. Kau.. kau.. dan Maria harusnya malu!”

Ibu tidak akan mempercayaiku walau aku mencoba menjelaskan, maka aku tidak mencoba menjelaskan apa-apa. Jika saja malaikat yang mengatakannya padamu, Ibu akan menertawakan aku. “Ibu, ini hal yang harus dilakukan,” kataku.

Kemudian aku mulai berkata padamu seakan-akan aku adalah kepala keluarga. “Ketika ia datang, aku tidak mau ada satu katapun kepadanya mengenai hal ini,” Aku menegaskan. “Ia adalah menantumu, Ibu harus menghargainya. Ia akan membutuhkan bantuan ketika harus menahan perkataan-perkataan pedas dari tetangga!”

Maafkan aku. Ibu tidak seharusnya mengalami hal ini. “Ibu,” aku mulai merengek, “Aku membutuhkanmu.” Ibu mengambil tanganku menyentuh kakimu, tetapi api kemarahanmu telah padam. “Kau bisa mengandalkanku, Yusuf,” Ibu mengatakannya dengan pelukan yang hangat. Ibu sungguh-sungguh dengan ucapan itu. Tidak ada pengantin yang bisa mengharapkan ibu mertua yang lebih baik darimu.

Ibu, setelah aku meninggalkan rumah, aku pergi ke rumah Maria. Ibunya melihatku dengan sangat terkejut, dengan segera ibunya berteriak, “Ini Yusuf!” Si kecil Maria datang dengan menunduk, matanya kemerahan dan bengkak. Aku bisa membayangkan apa yang telah dikatakan oleh orang tuanya. Ia terlihat begitu muda dan takut. “Kemasi barang-barangmu, Maria,” kataku padanya dengan lembut. “Aku akan membawamu pulang untuk menjadi istriku.” “Yusuf!” ia memelukku dengan sekuat tenaganya. Ibu, aku tidak menyadari bahwa dia bagitu kuat.

Aku memberi tahunya rencanaku. “Kita akan pergi ke rumah Rabbi Ben-Ezer minggu ini dan meminta bantuannya untuk menyelenggarakan upacara perkawinan.” Aku tahu ini sangat tiba-tiba, Ibu, tetapi menurutku semakin cepat semakin baik. “Maria, walaupun teman-teman kita tidak menghadirinya, setidaknya kau dan aku menyatukan cinta di hadapan Tuhan. Menurutku ibuku akan hadir. Dan mungkin temanmu Rebeka akan datang jika ayahnya mengijinkan. Bagaimana dengan orang tuamu?” Aku bisa merasakan kelemahan Maria ketika ia mulai menangis.

“Maria, tidak peduli apa yang dikatakan orang tentangmu, aku bangga kamu akan menjadi istriku. Aku akan menjagamu dengan sangat baik. Aku telah berjanji pada Tuhan.” Ia menatapku. Aku merendahkan suaraku. “Aku bermimpi semalam, Maria. Aku bertemu dengan seorang malaikat. Aku tahu.” Ketakutan dan penderitaannya hilang dari wajahnya seketika itu.
Ketika kami akan meninggalkan rumah, ibu Maria berlari ke arah kami. “Tunggu,” katanya. Ia pasti sudah mendengar pembicaraan kami dari balik pintu. Air matanya mengalir di pipinya.

“Aku akan memanggil ayahmu,” katanya sambil penuh perasaan dan emosi. “Kita,” ia menangis. “Kita..,” ia berteriak ketika ia akan lari untuk memanggil suaminya. “Kita… akan mengadakan pernikahan!”

Itu yang terjadi, bu. Terima kasih untuk selalu ada buat kami. Aku akan mengirim surat lagi nanti.

Love,
Yusuf

10.12.08

Dia sudah tidak mengingatnya

Alkisah ada sebuah legenda mengenai seorang pendeta di sebuah paroki kecil di daerah Midwestern yang sebagai seorang muda telah melakukan apa yang menurutnya adalah sebuah dosa yang amat besar. Sekalipun ia telah meminta pengampunan Tuhan, sepanjang hidupnya ia menanggung beban dari dosanya itu. Sekalipun ia telah menjadi seorang pendeta, ia tetap tak dapat dengan tuntas meyakini bahwa Tuhan telah mengampuninya.

Tetapi ia mendengar mengenai seorang wanita tua di jemaatnya yang kadangkala mendapatkan penglihatan. Di saat mendapat penglihatan tersebut, sang wanita seringkali saling berkata-kata dengan Tuhan.

Suatu hari sang pendeta berhasil mendapat cukup keberanian untuk mengunjungi wanita tersebut. Sang wanita mempersilahkannya masuk dan menyuguhkan secangkir teh. Pada akhir kunjungannya, si pendeta menaruh cangkirnya di atas meja dan memandang pada sang wanita.

"Benarkah kadang kala ibu mendapat penglihatan?" tanyanya.
"Ya", ia menjawab.
"Apakah juga benar, bahwa saat penglihatan tersebut, ibu seringkali berkata-kata dengan Tuhan?"
"Ya", jawabnya.
"Mmm... jika anda mendapatkan penglihatan lagi dan berkata-kata dengan Tuhan, maukah ibu tanyakan satu pertanyaan bagi saya?".

Sang wanita memandang sedikit heran pada si pendeta. Belum pernah ia mendapat permintaan seperti itu.
"Ya, dengan senang hati," jawabnya.
"Apa yang bapak ingin saya tanyakan?"
"Mmm.." sang pendeta memulai, "tolong tanyakan pada Tuhan, dosa apakah yang pernah dilakukan pendetanya ini di masa mudanya."

Sang wanita, benar-benar heran sekarang, segera saja setuju.

Beberapa minggupun berlalu, dan sang pendeta sekali lagi mengunjungi wanita itu. Setelah menikmati secangkir teh, dengan hati-hati dan malu-malu ia bertanya, "Sudahkah ibu mendapatkan penglihatan baru-baru ini?"

"Oh ya, saya mendapatkannya", jawab sang wanita.
"Apakah anda saling berkata-kata dengan Tuhan?"
"Ya."
"Apakah ibu bertanya kepada Tuhan dosa apakah yang pernah saya lakukan di masa muda saya?"
"Ya," sang wanita menjawab, "saya menanyakannya."

Sang pendeta, gelisah dan takut, ragu-ragu sejenak dan kemudian bertanya, "Lalu, apa yang Tuhan katakan?"

Sang wanita mengangkat wajahnya dan memandang si pendeta dan kemudian menjawab dnegan lembut, "Tuhan mengatakan Ia tidak dapat lagi mengingatnya."

9.12.08

sekarang aku tahu

Dave selalu menganggap kekristenan adalah sesuatu yang bodoh. Ia tidak mengerti mengapa Allah menjadi manusia dan mati disalib untuk menebus dosa. Ia tidak percaya pada kelahiran Kristus yang diceritakan setiap gereja di hari Natal. Memang dia adalah pria yang baik hati, tulus, setia kepada keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain. Tapi Dave sungguh-sungguh tidak dapat percaya.
"Aku benar-benar minta maaf kalau membuatmu sedih," katanya pada istrinya yang rajin ke gereja, "tapi aku tidak dapat mengerti kenapa Tuhan mau jadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal."

Pada malam Natal, istri dan anak-anaknya pergi menghadiri kebaktian tengah malam di gereja. Dave menolak untuk ikut, "aku tidak mau munafik," jawabnya. "Aku lebih baik tinggal di rumah dan akan menunggumu sampai pulang."

Tak lama setelah keluarganya berangkat, salju mulai turun. Dave melihat keluar jendela dan melihat butiran-butiran salju itu berjatuhan. Ketika ia melihat ke arah pohon di depan rumahnya, ia menemukan sekumpulan burung terbaring tak berdaya di salju yang dingin. Mereka terjebak dalam badai salju, dan hampir mati kedinginan.

"Aku tidak bisa membiarkan makhluk kecil itu kedinginan di sini, kasihan," pikir Dave. "Tapi bagaimana aku bisa menolong mereka?" Lali ia berusaha membuka jendela rumahnya dan memancing burung itu dengan remah-remah roti. Makanan pasti bisa menuntun mereka masuk, pikirnya.

Tapi Dave sungguh terkejut. Burung-burung itu tidak menghiraukan remah-remah itu dan terus melompat-lompat kedinginan di atas salju. Dave berteriak, bersiul dan mencoba menggiring mereka masuk, tapi justru burung-burung itu berpencaran kesana-kemari, malah menjauhi rumahnya yang hangat.

"Mereka menganggapku sebagai makhluk aneh yang menakutkan," kata Dave pada dirinya sendiri, "dan aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk memberitahu kalau mereka bisa mempercayaiku. Kalau saja aku bisa jadi seekor burung selama beberapa menit saja, mungkin aku bisa membawa mereka pada tempat yang aman." Saat itu juga, lonceng gereja berbunyi. Dave berdiri tertegun selama beberapa detik, kemudian ia terjatuh pada lututnya. Dengan terisak ia berkata, "Sekarang aku tahu, sekarang aku tahu kenapa Kau mau jadi manusia."

8.12.08

rudolph

Suatu malam di bulan Desember di Chicago, seorang gadis kecil berusia 4 tahun naik ke tempat tidur ayahnya dan bertanya, “Papa, kenapa mama tidak seperti mama yang lainnya?” Bob melihat sekilas ke arah sofa dimana terbaring lemah Evelyn, istrinya yang masih muda, akibat kanker selama 2 tahun. Hampir semua penghasilan dan tabungan ia gunakan untuk pengobatan Evelyn.

Ketika jarinya membelai rambut Barbara, ia berdoa supaya bisa menjawab pertanyaan putrinya. Di apartemennya yang lusuh, ia merangkul putrinya dan membacakan sebuah cerita, “Alkisah ada seekor rusa bernama Rudolph, satu-satunya rusa di dunia yang memiliki hidung besar berwarna merah. Rudolph sangat malu dengan hidungnya yang unik. Rusa yang lain sering menertawakannya; keluarganya pun malu. Di malam Natal, Santa Claus bersama tim rusanya bersiap untuk perjalanan setahun sekali keliling dunia. Seluruh komunitas rusa berkumpul untuk menyemangati pahlawan besar mereka sebelum berangkat. Tapi malam itu kabut tebal menyelimuti bumi dan Santa tahu bahwa ia tidak mungkin bisa melihat cerobong asap karena kabut yang tebal itu. Tiba-tiba Rudolph muncul, hidungnya yang merah bersinar lebih terang dari sebelumnya. Santa pikir Rudolph bisa menolongnya. Ia mengikatkan tali pelana pada Rudolph di barisan rusa paling depan. Mereka berangkat! Rudolph memimpin Santa ke setiap cerobong dengan selamat malam itu. Hujan, salju, kabut, tidak ada yang menghalanginya karena hidungnya yang bersinar itu. Dan akhirnya Rudolph menjadi rusa yang paling terkenal dan yang paling disayangi. Hidungnya yang pada awalnya membuat dirinya malu sekarang menjadi hal yang paling diingini di antara semua rusa. Santa Claus memberitahu semua orang bahwa Rudolphlah yang menjadi penolong pada malam itu, dan sejak Natal itu, Rudolph hidup dengan tenang dan gembira.”

Setelah hari itu, Bob membuat cerita itu menjadi sebuah puisi “Malam Sebelum Natal” dan membuatnya dalam bentuk buku dengan gambar sebagai ilustrasi sebagai hadiah khusus untuk Barbara. Bob berusaha keras membuat buku itu sebaik mungkin. Ia ingin putrinya mendapatkan hadiah yang layak, karena ia sudah tidak mampu lagi membeli kado yang lain.
Sebuah tragedi terjadi ketika Evelyn May meninggal dunia. Harapan Bob hancur, satu-satunya kekuatannya hanya Barbara. Dalam dukanya ia tetap meneruskan cerita “Rudolph” dengan tangisan di matanya.

Singkat cerita, tak lama setelah Barbara menangis kegirangan karena hadiah yang dibuat oleh Bob dengan tangannya sendiri pada Natal pagi, Bob diminta untuk datang ke pesta liburan karyawan di Montgomery Wards. Sebenarnya Bob tidak mau datang, tetapi akhirnya ia datang juga sambil membawa puisinya dan membacanya di tengah-tengah keramaian. Awalnya yang terdengar hanyalah suara canda tawa tapi kemudian suasana menjadi hening, pada akhirnya ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan. Itu terjadi pada tahun 1938.

Natal 1947, sebanyak 6 juta kopi buku itu telah terjual, membuat Rudolph menjadi salah satu buku terlaris di dunia. Permintaan akan produk sponsor meningkat drastis dan banyak para pengajar dan sejarahwan memperkirakan Rudolph akan mendapatkan tempat permanen di tradisi Natal.

6.12.08

100$

Kisah nyata ini mungkin terjadi empat tahun lalu. Pada minggu pertama bulan Desember, kami ada di sekolah minggu untuk membahas tentang sebuah keluarga yang membutuhkan pakaian dan makanan, yang direkomendasikan oleh bagian diakonia.

Pimpinan kami mulai menceritakan apa yang dilihatnya ketika ia dan beberapa pekerja sosial mengunjungi keluarga ini minggu lalu. Ibunya bekerja di dua tempat untuk menghidupi ketiga anaknya. Ia menceritakan bagaimana ibu ini sudah berusaha untuk menabung sepanjang tahun untuk membeli hadiah Natal, tetapi habis begitu saja. Semua uangnya terpakai untuk membeli makanan. Ia juga tidak ingat kapan terakhir kalinya ia membeli pakaian untuk anak-anaknya.
Ketika pimpinan itu melanjutkan kisahnya, pikiranku mulai mengingat semua Natal yang pernah kulewati sebagai anak-anak. Sepertinya aku masih bisa mencium aroma dari dapur ibuku. Ada sebuah pohon Natal besar dengan hadiah di bawahnya. Tampak bagaimana ekspresi tiap orang yang membuka hadiah Natal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya Natal tanpa makanan, keluarga, pohon Natal dan hadiah, seperti yang sedang diceritakan itu.

Pimpinan itu bilang kalau kita akan memberikan persembahan dan semuanya akan digunakan untuk membuat sebuah Natal terbaik untuk mereka. Ketika nampan diedarkan, aku melihat dompetku dan hanya menemukan satu dolar di sana. Aku ingin memberi lebih tetapi aku tidak membawa uang. Aku melewatkan nampan itu tanpa memberi apa-apa. Tiba-tiba aku teringat kalau aku sering membuat lipatan uang kertas untuk jaga-jaga dan diselipkan di bagian foto di dompet.

Aku membukanya dan menemukan lipatan uang itu. Selembar uang seratus dolar. Aku berpikir sesaat lalu menyadari kalau mereka lebih membutuhkannya daripadaku. Ketika aku menaruhnya di nampan, Pimpinan itu tampak terkejut dan bertanya apakah aku yakin tidak mau mengambil kembalian? Aku bilang kalau mereka pasti lebih membutuhkannya daripadaku.
Hari Minggu itu berlalu dan aku sudah lupa dengan apa yang terjadi pagi itu. Siangnya ketika aku dan keluargaku makan siang di sebuah restoran. Iparku sudah terlebih dulu ada disana dan sudah selesai makan siang. Ketika mereka akan pergi, mereka mampir ke meja kami untuk ngobrol sebentar.

Kemudian ibu mertuaku berbalik dan mengulurkan sesuatu di tangannya kepadaku, “kemarin kami menjual barang-barang bekas di rumah dan rasanya ada beberapa barang kepunyaanmu yang laku terjual.” Ternyata ia memberikan uangnya ke tanganku. Ketika aku melihatnya, rasanya seperti tidak percaya. Seratus dolar. Untung tadi pagi aku sempat memberi, sehingga berkat itu bisa mengalir terus.

5.12.08

mark and bill

Suatu hari Mark berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah, ia memeperhatikan seorang remaja laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya, tiba-tiba secara tidak sengaja, menjatuhkan buku-buku yang sedang dibawanya bersamaan dengan jas, sebuah tongkat baseball, sebuah sarung tangan dan sebuah tape recorder. Mark menunduk dan membantunya membawa sebagian dari bawaannya itu. Selama mereka berjalan, mereka berkenalan.

Nama anak laki-laki itu adalah Bill, ia sangat menyukai video game, baseball dan pelajaran sejarah, dan saat itu ia sedang mengalami banyak sekali masalah dengan mata pelajaran yang lain, juga ia baru saja putus dengan pacarnya.

Akhirnya mereka sampai di rumah Bill. Bill mengundang Mark untuk masuk ke rumahnya untuk minum dan menonton tv. Siang itu berlalu dengan suasanya senang, tawa dan obrolan ringan, kemudian Mark pulang ke rumahnya. Mereka kemudian menjadi lebih sering bertemu di sekolah, mereka menjadi teman yang akrab. Pergi makan siang bersama dan mereka lulus dari SMP bersama-sama. Mereka meneruskan ke SMU yang sama. Akhirnya penantian mereka akan berakhir, tiga minggu sebelum hari kelulusan, Bill mengajak Mark untuk mengobrol.

Bill mengingatkannya pada suatu hari, beberapa tahun yang lalu ketika mereka bertemu untuk yang pertama kali. “Apakah kamu pernah ingin tahu mengapa aku membawa banyak sekali barang hari itu?” Tanya Bill. “Hari itu aku membereskan lokerku karena aku tidak ingin meninggalkan kotoran untuk orang lain. Aku sudah menyimpan obat tidur milik ibuku dan saat itu aku berencana akan bunuh diri. Tapi setelah kita menghabiskan waktu bersama, ngobrol dan tertawa, aku sadar bahwa kalau saja saat itu aku bunuh diri, aku akan kehilangan saat-saat seperti itu dan banyak waktu lainnya. Jadi Mark, ketika kamu membantuku mengangkat buku-bukuku hari itu, kamu melakukan lebih banyak daripada sekedar membantuku. Kamu telah menyelamatkan hidupku.”

Selalu ada alasan dibalik sebuah kejadian. Sesuatu yang tidak terduga dan Tuhan turut bekerja di dalamnya untuk kebaikan kita.

4.12.08

natal yang indah

Aku buru-buru ke toko terdekat untuk membeli beberapa hadiah Natal. Kulihat ke semua orang dan bersungut-sungut pada diriku sendiri. Dengan segera aku bergegas melewati kerumunan orang-orang ke bagian mainan. Sekali lagi aku bersungut-sungut karena harga mainan-mainan itu.

Aku berada di deretan boneka. Di pojok aku melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun, memegang sebuah boneka yang cantik. Ia terus mengelus rambutnya dan ia memegangnya dengan sangat lembut. Aku terus melihatnya dan mengira-ngira untuk siapa boneka itu. Aku melihatnya pergi ke arah seorang wanita dan berkata, “Apakah tante yakin kalau uangku kurang?” Wanita itu menjawab dengan sedikit tidak sabar, “Kau tahu kalau uangmu tidak cukup untuk itu.”

Setelah itu aku bertanya pada anak itu, untuk siapakah boneka itu. Ia menjawab, “Ini boneka yang diidamkan adikku saat Natal. Ia tahu kalau Santa akan membawakannya.” Aku berkata padanya, mungkin Santa akan datang untuk membawakannya. Ia menjawab “Tidak, Santa tidak bisa pergi ke tempat di mana adikku berada. Aku harus memberikan boneka ini kepada mamaku untuk diberikan kepadanya.”

Aku bertanya padanya dimanakah adiknya berada. Ia menatapku dengan tatapan memelas dan berkata “Ia telah pergi untuk bersama Yesus. Papaku bilang kalau mama akan pergi menyusulnya.” Jantungku hampir berhenti. Kemudian anak itu kembali menatapku dan berkata, “Aku bilang pada papa untuk memberitahu mama supaya jangan pergi dulu. Aku menyuruhnya menunggu sampai aku kembali dari toko. Aku juga mau memberinya fotoku, supaya ia tidak lupa padaku.”

Ketika anak itu menundukkan kepalanya, aku mengambil setumpuk nota dan bertanya padanya, “Maukah kau menghitung uangmu sekali lagi bersamaku?” Dengan semangat ia menjawab, “Ya, aku tahu uangnya pasti cukup.” Diam-diam aku menyelipkan uangku ke dalamnya dan mulai menghitungnya. Dan tentu saja lebih dari cukup untuk boneka itu. Dengan lembut ia berkata, “Terima kasih Tuhan telah memberiku uang yang cukup. Aku sudah berdoa supaya diberi cukup uang untuk membeli boneka ini dan Ia mendengar doaku. Tadinya aku mau berdoa supaya Tuhan memberiku uang yang cukup untuk membeli mawar putih juga untuk mamaku, tapi aku tidak memintaNya. Tetapi Ia tetap memberi uang yang cukup untuk membeli boneka dan mawar putih untuk mamaku. Ia sangat menyukai mawar putih.”

Dalam beberapa menit tantenya kembali dan akupun pergi. Aku tidak bisa berhenti memikirkan anak itu. Ketika aku selesai berbelanja, rasanya berbeda sekali dengan ketika aku datang. Dan aku terus mengingat sebuah kejadian yang aku baca di koran beberapa hari sebelumnya tentang seorang supir mabuk yang menabrak seorang anak perempuan hingga meninggal dan ibunya sedang dalam kondisi parah.

Dua hari kemudian aku membaca di koran bahwa wanita muda itu telah meninggal. Aku tidak bisa melupakan anak itu dan terus memikirkan dua kejadian yang saling berhubungan itu. Hari itu, aku pergi membeli bunga mawar putih dan pergi ke rumah duka di mana wanita tersebut disemayamkan, di sana ia sedang memegang setangkai mawar putih, boneka yang cantik, dan sebuah gambar dari anak laki-laki yang kutemui di toko itu. Masihkah aku bisa bersungut-sungut dengan keadaanku?

3.12.08

banjo barney

Kisah ini terjadi pada 6 Desember 1988, di tempat layanan kami di luar Lancaster, Pennsylvania. Minggu lalu kami menerima sebuah panggilan telepon dengan nada kuatir dari seorang teman yang bernama Karen. Ia tinggal di West Hazleton, Pennsylvania. Karen adalah seorang ibu dengan lima orang anak. Empat orang kembar berusia satu setengah tahun dan seorang anak perempuan tertua berusia tiga tahun bernama Amanda.

Rupanya Amanda telah bersikap baik sepanjang tahun dan ia sangat menginginkan Banjo Barney untuk hadiah natalnya. Karen, ibunya telah menelepon semua toko di kawasan mereka, tetapi tidak berhasil mendapatkannya. Ia juga telah mengunjungi belasan situs internet yang kira-kira menjual Banjo ajaib itu, tetapi tetap juga tidak berhasil. Karen lalu meminta semua temannya untuk membantunya mencari.

Sebuah selebaran dari toko serba ada lokal mengiklankan barang itu, jadi kami melewatkan Pendalaman Alkitab pada hari Minggu dan menuju ke toko itu. Kami mengantri lama sekali di sana.

Setelah masuk toko itu, aku mencari-cari di bagian mainan. Tetapi walaupun Banjo Barney diiklankan di selebaran itu, aku tidak bisa menemukannya. Tiba-tiba ada seorang pegawai yang berjalan membawa sebuah Banjo Barney dan langsung memberikannya padaku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku mengucapkan terima kasih tetapi ia tetap diam saja. Aku terkejut melihat nama yang tertera di dadanya tertulis “Karen.”

Aku dan Susan, tunanganku lalu hendak membayarnya di kasir dan semua pegawai memandangi kami dengan takjub dan tidak percaya, bertanya di mana kami mendapatkan Banjo Barney itu. Mereka bilang sudah beberapa hari barang itu habis terjual di toko mereka. Lalu segalanya berubah menjadi misterius. Bukan hanya karena pegawai toko itu bilang kalau barang itu sudah habis, tetapi ketika kusebut nama Karen, pegawai di belakang yang memberiku Banjo itu, tidak seorangpun yang mengenalnya.

Lebih lagi, ketika tunanganku, Susan yang tidak pernah melihat Karen, pegawai toko itu, bilang kalau ia melihat sebuah cahaya melewatinya ketika ia berjalan di setiap lorong toko untuk mencari Banjo itu.Dengan semangat kami menelpon Karen, teman kami dan menceritakan kalau Amanda akan mendapatkan Banjo Barney sebagai hadiah Natal. Karen begitu senang.

Sepertinya kami bisa merasakan senyumnya melalui telpon itu. Dia mulai menangis ketika kami menceritakan kisah tentang pegawai toko yang bernama Karen juga. Kami semua berpikir, mungkin itu seorang malaikat di hari Natal. Alami keajaibanNya hari ini!

2.12.08

misha

Pada tahun 1994, dua orang warga Amerika memenuhi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar moral dan etika berdasarkan prinsip Alkitab di panti asuhan. Bulan Desember, waktunya mereka mendengarkan kisah tradisioanal mengenai Natal. Kami menceritakan tentang Maria dan Yusuf tiba di Betlehem. Tidak mendapat tempat di penginapan, mereka pergi ke sebuah kandang, di mana bayi Yesus lahir dan diletakkan di palungan. Mendengar cerita itu, anak-anak begitu kagum. Setelah selesai kami bercerita, kami memberi anak-anak itu kertas lipat untuk membuat palungan.


Sambil mengikuti instruksi, anak-anak memotong kertas dan dengan hati-hati membentuk sebuah palungan. Anak-anak itu sibuk berkarya selagi aku berjalan melewati mereka satu per satu. Semua berjalan dengan baik sampai aku mendekati sebuah meja di mana Misha sedang duduk. Ia berusia kira-kira 6 tahun dan telah menyelesaikan prakaryanya.


Ketika aku melihat palungan yang dibuatnya, aku kaget melihat ada dua bayi di dalam palungan itu. Aku segera memanggil penerjemah untuk menanyakan mengapa bisa ada dua bayi di dalam palungannya. Sambil melihat palungannya anak itu mulai mengulang cerita dengan serius. Untuk anak kecil seusianya, yang baru hanya sekali mendengarkan cerita ini, ia menghubungkan kejadian dengan begitu teliti sampai pada kisah di mana Maria meletakkan bayi Yesus di palungan.


Kemudian Misha melanjutkan kisahnya sampai akhir di ceritanya ia berkata, “Dan ketika Maria menidurkan bayinya di palungan, Yesus melihat ke arahku dan bertanya apakah aku punya tempat tinggal. Aku bilang padaNya aku tidak punya mama dan papa, jadi aku tidak punya tempat tinggal. Kemudian Yesus mengatakan padaku bahwa aku bisa tinggal bersamaNya.

Tetapi aku tidak bisa, karena aku tidak punya kado apapun yang bisa kuberikan seperti yang orang lain. Tapi aku ingin sekali tinggal bersama Yesus, maka aku berpikir apa yang bisa kulakukan untuk memberinya hadiah. Aku pikir bisa membuatNya merasa hangat dengan tubuhku, mungkin itu bisa menjadi kado yang baik. Maka aku bertanya pada Yesus, “Kalau aku bisa membuat tubuhMu hangat, apakah itu bisa menjadi hadiah yang cukup baik?” Dan Yesus menjawab, “Kalau kau bisa membuatku merasa hangat, itu akan menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan kepadaku. Jadi aku masuk ke dalam palungan itu, dan kemudian Yesus melihat ke arahku dan mengatakan padaku bahwa aku bisa tinggal bersamaNya untuk selamanya.”


Ketika Misha menyelesaikan ceritanya, ia menangis. Kedua tangannya menutupi wajahnya, ia menunduk dan tidak berhenti menangis. Anak yatim piatu ini telah menemukan seseorang yang tidak akan pernah menyiksa atau meninggalkannya, seseorang yang akan tinggal bersamanya untuk selamanya. Aku telah belajar bahwa yang terpenting adalah bukan apa yang kau miliki dalam hidupmu, tetapi siapa yang kau miliki.

1.12.08

pengalamanku

Hari itu keadaan cukup ramai. Lumayan, mungkin ini memang rejekiku. Aku masuk ke sebuah bis yang penuh dengan senjata andalanku, krecekan dari tutup botol. Walaupun masih kecil, aku sudah terbiasa ngamen dari kendaraan yang satu ke kendaraan yang lain. Bis kali ini sedang menuju Tangerang.

Setelah menemukan celah yang cukup nyaman, aku mulai menyanyikan lagu kesukaanku, “Yesus ajaib, Tuhanku ajaib..” Aku menyanyikannya dengan berani dan tidak malu-malu. Baru beberapa kali kuulang, tiba-tiba seorang bapak memarahiku. Beberapa penumpang lain juga memandangku dengan pandangan sinis. Mungkin karena lagu yang kunyanyikan itu jarang mereka dengar. Jadi aku terus menyanyikannya dengan semangat.

“Diam kamu! Jangan nyanyi lagu itu lagi. Kalau kamu nggak diam, nanti saya pukul kamu !” Tapi aku tidak menanggapi kemarahan mereka. Aku terus saja menyanyikannya.Karena bis akan melanjutkan perjalanan menuju tol, di pintu tol menuju Serpong hampir semua penumpang turun dari bis. Aku pun segera turun sambil membawa hasilnya. Tiba-tiba ada yang mendorongku sampai jatuh. Aku langsung berdiri lagi, tetapi aku didorong lagi sampai terpelanting. Ternyata lebih dari satu orang yang mengerumuniku. Mungkin itu bapak yang tadi membentakku, aku tidak tahu.

Kini semua orang membentakku, “sudah dibilang jangan nyanyi, masih nyanyi terus. Kamu mau saya pukul?” Cuma itu yang kudengar jelas, yang lain ikut berteriak-teriak sehingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Aku terdiam, takut, tapi aku berdoa, “Tuhan, tolong aku.”

Tiba-tiba aku tidak tahu, ada keberanian dari mana, aku bisa berbicara dengan lantang, “Bapak-bapak, Ibu-ibu jika mau pukul saya, pukul saja.Kalau mau bunuh, bunuh saja. Tapi yang Bapak dan Ibu perlu tahu, walaupun saya dipukul atau dibunuh saya tetap akan menyanyikan lagu itu."Tiba-tiba semua orang terdiam sepertinya mulut mereka terkunci. Lalu aku bilang lagi, “Sudahlah tidak perlu marah-marah lagi. Sini.. saya doakan saja Bapak, Ibu."

Lalu aku mulai berdoa. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, tetapi aku merasa Tuhan bekerja. Ketika aku bilang amin, beberapa orang disana menangis dan menyebut Tuhan, Tuhan. Aku yakin Tuhan menjamahnya. Lalu aku melanjutkan ke angkutan umum berikutnya.