11.12.08

love letter

Ibu tercinta,

Kami masih berada di Betlehem – aku, Maria dan si kecil Yesus. Ada banyak hal yang tidak bisa kukatakan kepada ibu tentang musim panas lalu. Ibu mungkin tidak akan percaya padaku, tetapi mungkin aku bisa mengatakannya sekarang. Aku harap Ibu bisa mengerti.

Ibu, aku sangat mencintai Maria. Ibu dan Ayah dulu sering menggodaku dengannya ketika ia masih kecil. Ia dan kakaknya dulu sering bermain di jalan depan rumah kita. keluarga kita sering makan bersama. Tetapi hari terberat dalam hidupku datang hampir setahun yang lalu ketika aku berumur 20 tahun dan ia hanya 15 tahun. Ibu ingat kan?

Permasalahan dimulai ketika kami mulai bertunangan dan menandatangani persetujuan pernikahan di hari pertunangan kami. Pada saat yang sama tiba-tiba Maria pergi mengunjungi sepupunya Elizabeth di Yudea. Ia pergi selama 3 bulan. Setelah ia kembali, orang-orang mulai membicarakan tentangnya, bahwa ia hamil.

Hari itu hari yang menengangkan bagiku ketika pada akhirnya aku menemuinya dan bertanya mengenai gosip itu. “Maria,” tanyaku padanya, “Apakah benar bahwa kau sedang hamil?” Sepasang mata jernih berwarna coklat itu menatapku. Aku tak tahu harus berkata apa. “Siapa?” Tanyaku dengan kegugupan. Ibu, Maria dan aku tidak pernah berbuat hal-hal yang tidak baik – bahkan setelah kami bertunangan.

Maria menunduk. “Yusuf, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Kamu tidak akan bisa mengerti. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah menyayangi siapapun kecuali kamu.” Ia bangun, dengan lembut ia memegang kedua tanganku, dan menciumnya seakan-akan saat itu adalah saat terakhir ia melakukannya dan kemudian ia pulang ke rumah. Ia pasti sangat terpukul. Begitupun dengan aku.

Awalnya aku begitu marah dan menumpahkan frustasiku pada pintu kayu yang sedang kubuat. Pikiranku berputar dengan cepat, aku hampir tidak berpikir sedikitpun pada pekerjaanku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahi kontrak pernikahan dengan perceraian diam-diam. Aku terlalu mencintainya untuk memberitahukan pada publik.

Aku tidak bisa berbicara dengan ibu, atau siapapun, untuk masalah ini. perkataannya terus terngiang-ngiang di pikiranku. “Aku tidak pernah menyayangi siapapun kecuali engkau... “Aku ingin sekali mempercayainya!” dan ketika aku tertidur, aku bermimpi Malaikat Tuhan datang padaku. PerkataanNya masuk ke dalam pikiranku dan aku bisa mengingatnya dengan jelas sekali.

“Yusuf, anak Daud,” suaraNya yang menggelegar, “Jangan takut menjadikan Maria sebagai istrimu, karena apa yang terjadi padanya berasal dari Roh Kudus.” Aku tidak bisa mempercayai telingaku, Ibu. Inilah jawaban! Malaikat itu meneruskan, “Ia akan melahirkan seorang bayi laki-laki, dan kamu akan menamai Ia Yesus, karena Ia yang akan menyelamatkan manusia dari dosa.” Malaikat itu menggenggam bahuku dengan tangannya yang besar. Untuk waktu yang lama ia menatapku dengan dalam. Ketika ia pergi, aku melihatnnya tersenyum.

Aku duduk terdiam. Memikirkan berbagai kata dalam benakku, kemudian aku bangun segera berpakaian diam-diam supaya aku tidak membangunkan Ibu. Aku pasti telah melewati bermil-mil di bawah bulan di langit gelap dan taburan bintang-bintang, semburan angin mengusap wajahku.

Aku bernyanyi bagi Tuhan, Ibu, andaikan ibu bisa membayangkan. Aku tidak dapat menahan kebahagiaanku. Aku katakan padaNya aku akan menikahi Maria dan mengasihinya, aku akan menjaganya dan bayinya, tidak peduli apa yang dikatakan orang.

Ketika aku pulang, hari telah pagi. Aku tidak tahu apakah Ibu masih mengingat pagi itu. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Ibu.” Aku mengajak Ibu duduk di atas batu besar. “Ibu,” kataku, “Aku akan membawa Maria pulang sebagai istriku. Bisakah Ibu membantu menyiapkan tempat untuknya?”

Ibu terdiam beberapa saat. “Kamu tahu benar apa yang mereka bicarakan anakku?” “Ya, ibu, Aku tahu.” Suaramu mulai meninggi. “Kalau ayahmu masih hidup, ia pasti akan menentangnya. Melakukan hal seperti itu sebelum kalian menikah, mempermalukan keluarga. Kau.. kau.. dan Maria harusnya malu!”

Ibu tidak akan mempercayaiku walau aku mencoba menjelaskan, maka aku tidak mencoba menjelaskan apa-apa. Jika saja malaikat yang mengatakannya padamu, Ibu akan menertawakan aku. “Ibu, ini hal yang harus dilakukan,” kataku.

Kemudian aku mulai berkata padamu seakan-akan aku adalah kepala keluarga. “Ketika ia datang, aku tidak mau ada satu katapun kepadanya mengenai hal ini,” Aku menegaskan. “Ia adalah menantumu, Ibu harus menghargainya. Ia akan membutuhkan bantuan ketika harus menahan perkataan-perkataan pedas dari tetangga!”

Maafkan aku. Ibu tidak seharusnya mengalami hal ini. “Ibu,” aku mulai merengek, “Aku membutuhkanmu.” Ibu mengambil tanganku menyentuh kakimu, tetapi api kemarahanmu telah padam. “Kau bisa mengandalkanku, Yusuf,” Ibu mengatakannya dengan pelukan yang hangat. Ibu sungguh-sungguh dengan ucapan itu. Tidak ada pengantin yang bisa mengharapkan ibu mertua yang lebih baik darimu.

Ibu, setelah aku meninggalkan rumah, aku pergi ke rumah Maria. Ibunya melihatku dengan sangat terkejut, dengan segera ibunya berteriak, “Ini Yusuf!” Si kecil Maria datang dengan menunduk, matanya kemerahan dan bengkak. Aku bisa membayangkan apa yang telah dikatakan oleh orang tuanya. Ia terlihat begitu muda dan takut. “Kemasi barang-barangmu, Maria,” kataku padanya dengan lembut. “Aku akan membawamu pulang untuk menjadi istriku.” “Yusuf!” ia memelukku dengan sekuat tenaganya. Ibu, aku tidak menyadari bahwa dia bagitu kuat.

Aku memberi tahunya rencanaku. “Kita akan pergi ke rumah Rabbi Ben-Ezer minggu ini dan meminta bantuannya untuk menyelenggarakan upacara perkawinan.” Aku tahu ini sangat tiba-tiba, Ibu, tetapi menurutku semakin cepat semakin baik. “Maria, walaupun teman-teman kita tidak menghadirinya, setidaknya kau dan aku menyatukan cinta di hadapan Tuhan. Menurutku ibuku akan hadir. Dan mungkin temanmu Rebeka akan datang jika ayahnya mengijinkan. Bagaimana dengan orang tuamu?” Aku bisa merasakan kelemahan Maria ketika ia mulai menangis.

“Maria, tidak peduli apa yang dikatakan orang tentangmu, aku bangga kamu akan menjadi istriku. Aku akan menjagamu dengan sangat baik. Aku telah berjanji pada Tuhan.” Ia menatapku. Aku merendahkan suaraku. “Aku bermimpi semalam, Maria. Aku bertemu dengan seorang malaikat. Aku tahu.” Ketakutan dan penderitaannya hilang dari wajahnya seketika itu.
Ketika kami akan meninggalkan rumah, ibu Maria berlari ke arah kami. “Tunggu,” katanya. Ia pasti sudah mendengar pembicaraan kami dari balik pintu. Air matanya mengalir di pipinya.

“Aku akan memanggil ayahmu,” katanya sambil penuh perasaan dan emosi. “Kita,” ia menangis. “Kita..,” ia berteriak ketika ia akan lari untuk memanggil suaminya. “Kita… akan mengadakan pernikahan!”

Itu yang terjadi, bu. Terima kasih untuk selalu ada buat kami. Aku akan mengirim surat lagi nanti.

Love,
Yusuf

No comments:

Post a Comment