Kisah nyata ini mungkin terjadi empat tahun lalu. Pada minggu pertama bulan Desember, kami ada di sekolah minggu untuk membahas tentang sebuah keluarga yang membutuhkan pakaian dan makanan, yang direkomendasikan oleh bagian diakonia.
Pimpinan kami mulai menceritakan apa yang dilihatnya ketika ia dan beberapa pekerja sosial mengunjungi keluarga ini minggu lalu. Ibunya bekerja di dua tempat untuk menghidupi ketiga anaknya. Ia menceritakan bagaimana ibu ini sudah berusaha untuk menabung sepanjang tahun untuk membeli hadiah Natal, tetapi habis begitu saja. Semua uangnya terpakai untuk membeli makanan. Ia juga tidak ingat kapan terakhir kalinya ia membeli pakaian untuk anak-anaknya.
Ketika pimpinan itu melanjutkan kisahnya, pikiranku mulai mengingat semua Natal yang pernah kulewati sebagai anak-anak. Sepertinya aku masih bisa mencium aroma dari dapur ibuku. Ada sebuah pohon Natal besar dengan hadiah di bawahnya. Tampak bagaimana ekspresi tiap orang yang membuka hadiah Natal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya Natal tanpa makanan, keluarga, pohon Natal dan hadiah, seperti yang sedang diceritakan itu.
Pimpinan itu bilang kalau kita akan memberikan persembahan dan semuanya akan digunakan untuk membuat sebuah Natal terbaik untuk mereka. Ketika nampan diedarkan, aku melihat dompetku dan hanya menemukan satu dolar di sana. Aku ingin memberi lebih tetapi aku tidak membawa uang. Aku melewatkan nampan itu tanpa memberi apa-apa. Tiba-tiba aku teringat kalau aku sering membuat lipatan uang kertas untuk jaga-jaga dan diselipkan di bagian foto di dompet.
Aku membukanya dan menemukan lipatan uang itu. Selembar uang seratus dolar. Aku berpikir sesaat lalu menyadari kalau mereka lebih membutuhkannya daripadaku. Ketika aku menaruhnya di nampan, Pimpinan itu tampak terkejut dan bertanya apakah aku yakin tidak mau mengambil kembalian? Aku bilang kalau mereka pasti lebih membutuhkannya daripadaku.
Hari Minggu itu berlalu dan aku sudah lupa dengan apa yang terjadi pagi itu. Siangnya ketika aku dan keluargaku makan siang di sebuah restoran. Iparku sudah terlebih dulu ada disana dan sudah selesai makan siang. Ketika mereka akan pergi, mereka mampir ke meja kami untuk ngobrol sebentar.
Kemudian ibu mertuaku berbalik dan mengulurkan sesuatu di tangannya kepadaku, “kemarin kami menjual barang-barang bekas di rumah dan rasanya ada beberapa barang kepunyaanmu yang laku terjual.” Ternyata ia memberikan uangnya ke tanganku. Ketika aku melihatnya, rasanya seperti tidak percaya. Seratus dolar. Untung tadi pagi aku sempat memberi, sehingga berkat itu bisa mengalir terus.
6.12.08
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment